Kolintang Go International- Kolintang menyusul angklung menjadi alat music dari Indonesia yang diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO. Alat musik ini bisa memainkan lagu internasional yang tingkat kesulitannya tinggi.
Kolintang Go Europe |
Ada yang menarik dalam pertunjunkkan
“Sound of Indonesia” di Hamburg beberapa waktu lalu. Kolintang alat musik dari
Sulawesi Utara menjadi penggiring sejumlah lagu yang bukan lagu daerah dari
Minahasa, tetapi lagu “Edelweiss” salah satu film klasik “Soundtrack of Music”,
para pemain musik kolintang dari Kelompok Kawanua Jakarta ini mampu menghipnotis
penonton.
Kolintang Kawanua Jakarta |
Alunan musiknya bisa begitu harmonis dengan suara dari vokalis sempurna.
Dalam pertunjukkan di Gedung Pertunjukan, Friedrick-Ebert-Halle,Hamburg,
Germany, alat musik kolintang mampu membawakan lagu Berbahasa Jerman “Du” dari
Peter Maffay, secara instrumental juga sempurna. Sebetulnya juga di tangan
kelompok ini kolintang juga mampu membawakan lagu yang tingkat kesulitan tinggi
seperti “Bohemian Rhapsody” dari Queen.
Kawanua Jakarta
Dalam pertunjukkan di Jenewa juga beberapa waktu lalu Kelompok Musik Kolintang Kawanua Jakarta mampu membawakan berbagai nada-nada termasuk lagu-lagu kelas dunia baik pop maupun klasik diantaranya symphony no. 9 ciptaan WA Mozart memukau ratusan warga Jenewa Itu artinya kolintang adalah alat musik berikutnya dari Indonesia setelah angklung go internasional dan diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO. “Total kami mengunjungi delapan kota selama tur di Eropa. Selain mengunjungi Hamburg dan Jenewa, kami mengunjungi Eidhoven, Delf, Paris, Lion dan Nantes. Ini tur kami yang ketiga sejak Kolintang Kawanua Jakarta didirikan pada 2010. Sebelumnya kami mengunjungi China dua kali, memainkan lagu-lagu Mandarin,” ujar juru bicara Kolintang Kawanua Jakarta, Melky Kowaas beberapa waktu lalu.
Kawanua Jakarta
Dalam pertunjukkan di Jenewa juga beberapa waktu lalu Kelompok Musik Kolintang Kawanua Jakarta mampu membawakan berbagai nada-nada termasuk lagu-lagu kelas dunia baik pop maupun klasik diantaranya symphony no. 9 ciptaan WA Mozart memukau ratusan warga Jenewa Itu artinya kolintang adalah alat musik berikutnya dari Indonesia setelah angklung go internasional dan diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO. “Total kami mengunjungi delapan kota selama tur di Eropa. Selain mengunjungi Hamburg dan Jenewa, kami mengunjungi Eidhoven, Delf, Paris, Lion dan Nantes. Ini tur kami yang ketiga sejak Kolintang Kawanua Jakarta didirikan pada 2010. Sebelumnya kami mengunjungi China dua kali, memainkan lagu-lagu Mandarin,” ujar juru bicara Kolintang Kawanua Jakarta, Melky Kowaas beberapa waktu lalu.
Menurut
pria kelahiran 1979 ini musik kolintang di kelompok ini terbagi dalam berbagai instrumen
hingga harus berpadu. Ada yang berfungsi seperti bass, contra bass atau cello, penggiring
besar, penggiring hingga melodi, rhythm. Itu sebabnya grup ini terdiri
delapan orang-lebih sedikit dari angklung. “Bagi saya memainkan kolintang itu
lebih variatif dari alat musik lain. Kolintang bisa memainkanberbagai genre
dari tradisional, rock, jazz hingga dangdut. Hanya saja kami belum coba dengan
musik techno,” tambah pria yang pernah kuliah di Universitas Patimura, Ambon
ini.
Seperti
halnya angklung di Saung Angklung Udjo yang giat dilombakan dan dipertunjukkan oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Barat, Pihak Pemprov Sulawesi Utara juga giat meregenerasi kolintang.
Caranya dengan mengadakan lomba kolintang hingga tingkat SD hingga SMA. Bahkan festival
kolintang juga diadakan di kotalain di luar Sulawesi Utara, seperti Surabaya.
“Peminat kolintang banyak yang datang dari luar Minahasa,” kata Melky lagi. Kolintang adalah alat musik yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara yang diproduksi dengan bahan dasar terbuat dari kayu. cara memainkannya dengan dipukul.
Di
Sulawesi, kolintang biasanya dibuat dari kayu Cempaka yang sudah dikeringkan
selama sekitar satu bulan, lalu dipotong menjadi bilah-bilah dan diserut Secara
standar memainkan alat musik khas Minahasa ini akan disebut lengkap apabila ada
sembilan jenis alat, antara lain jenis bass yang disebut loway, selo atau sela;
tenor satu atau karua; tenor dua atau karua-rua. Lalu ada alto satu yang
disebut uner; alto dua atau uner dua; alto tiga atau katelu; serta pengiring atau
melodi satu yang disebut ina esa, melodi dua atau ina rua, dan melodi tiga ina taweng.
Setiap
alat musik tradisional itu mengeluarkan bunyi berbeda satu sama lain ketika dipukul
dan akan menghasilkan harmoni suara merdu ketika dibunyikan bersama. Asal usul
nama “Kolintang” memang berasal dari bunyi kayu yang dipukul sehingga menghasilkan
suara “tong-ting-tang”. Bunyi “tong” berasal dari nada rendah, “ting” dari nada
tinggi, sedangkan “tang” dari nada biasa. Pada awalnya, penduduk setempat lazim
menggunakan istilah ajakan Mangemo Kumolintang atau Maimo
Kumolintang untuk bermain “tong-ting-tang”. Lambat laun, istilah ini
berubah menjadi ajakan bermain Kolintang.
Berawal Pemujaan Leluhur
Pada awalnya, para pemain Kolintang duduk berselonjor dan memukul
kayu yang diletakkan berjejer di atas kaki mereka. Namun, cara memainkan
Kolintang berubah ketika rombongan Pangeran Diponegoro datang ke Minahasa untuk
menjalani hukuman pengasingan pada tahun 1830. Rombongan tersebut membawa
beberapa instrumen alat music tradisional seperti gambang. Masuknya instrumen
gambang mengubah cara memainkan Kolintang, dari sebelumnya duduk dan
menjejerkan kayu di atas kaki, menjadi membuat kotak kayu yang terinspirasi
dari gambang dan meletakkan bilah kayu di atas kotak tadi.
Cara memainkan Kolintang juga tidak lagi duduk melainkan berdiri. Masuknya Agama Kristen di Minahasa,
membuat eksistensi kolintang demikian terdesak
bahkan hampir menghilang sama sekali sekitar
seratus tahun. Kolintang biasanya juga
dimainkan untuk upacara tradisional Minahasa
seperti perkawinan atau prosesi “nae rumah
baru” (ungkapan syukur setelah membangun
rumah).
Rekor MURI
Usai Perang Dunia Kedua terjadi perkembangan dalam alat musik Kolintang. Nelwan Katuuk mempelopori penyusunan nada Kolintang sesuai dengan susunan nada music universal yang awalnya hanya terdiri dari satu melodi dengan susunan nada diatonic berjarak 2 oktaf. Sebagai pengiring dipakai alat musik bergenre string seperti okulele dan gitar. Perkembangan Kolintang juga tak lepas dari peranan Petrus Kaseke. Sejak 1954, Petrus terus menerus mengembangkan nada Kolintang hingga menjadi 6 oktaf sebagaimana yang sekarang biasa dimainkan. Kolintang tercatat pernah meraih rekor di Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan kategori permainan Kolintang secara massal yang melibatkan 200 buah Kolintang. Acara tersebut dihelat di Sport Mall, Jakarta pada 16 September 2006. Rekor yang tercatat di Jakarta tersebut akhirnya tumbang setelah 585 buah Kolintang dapat dimainkan secara massal di kawasan MCC atau Boulevard Mall Manado pada Kamis, 2 Agustus 2007
Usai Perang Dunia Kedua terjadi perkembangan dalam alat musik Kolintang. Nelwan Katuuk mempelopori penyusunan nada Kolintang sesuai dengan susunan nada music universal yang awalnya hanya terdiri dari satu melodi dengan susunan nada diatonic berjarak 2 oktaf. Sebagai pengiring dipakai alat musik bergenre string seperti okulele dan gitar. Perkembangan Kolintang juga tak lepas dari peranan Petrus Kaseke. Sejak 1954, Petrus terus menerus mengembangkan nada Kolintang hingga menjadi 6 oktaf sebagaimana yang sekarang biasa dimainkan. Kolintang tercatat pernah meraih rekor di Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan kategori permainan Kolintang secara massal yang melibatkan 200 buah Kolintang. Acara tersebut dihelat di Sport Mall, Jakarta pada 16 September 2006. Rekor yang tercatat di Jakarta tersebut akhirnya tumbang setelah 585 buah Kolintang dapat dimainkan secara massal di kawasan MCC atau Boulevard Mall Manado pada Kamis, 2 Agustus 2007