Pertengahan Oktober
lalu, berkesempatan berkunjung ke Kota Aceh dan Sabang bersama rombongan TX
Travel yang dipimpin langsung oleh Bapak Anton Thedy, founder sekaligus pemilik
TX Travel. Pesawat Lion Air yang membawa rombongan kami tiba di Bandara Internasional
Sultan Iskandar Muda Banda Aceh tepat pukul 11.45 wib. Kami dijemput oleh
perwakilan TX Travel yang akan membawa kami dan rombongan selama di Aceh. Berikut
1. Kota Seribu Warung Kopi
Karena waktu sudah
menjelang siang, kami langsung diajak ke sebuah kedai kopi sekaligus rumah
makan yang bernama Rumoh Aceh. Rumah makan ini menyediakan aneka masakan khas
Aceh. Uniknya, seperti kata pemiliknya yang kebetulan hadir saat itu M.Nur,
rumah makan ini juga menyediakan kopi yang diproduksi sendiri dan memiliki
brand sendiri, yaitu Kopi Luwak, dan Kopi Arabica. Kopi ini sudah tersebar dan
diekspor hingga manca negara. Saat kami makan siang, ada beberapa kelompok tamu
yang duduk-duduk minum kopi sambil mengobrol. Di Banda Aceh memang banyak
sekali kedai kopi yang semuanya tidak pernah kosong, selalu terisi penuh dengan
orang-orang yang sekedar duduk-duduk mengobrol sambil menyeruput kopi.
Satu lagi kedai kopi
yang terkenal di Aceh adalah Canai Mamak KL. Kedai kopi ini tidak terlihat
seperti kedai kopi biasa, namun seperti layaknya café modern yang ada di kota
besar. Beragam jenis makanan tersedia disini, makanan utama andalan mereka
adalah Roti Canai. Tersedia beraga rasa dari roti canai ini. Ada roti canai
telor bawang kari, durian, coklat, dan beberapa varian lainnya. Rasa rotinya
gurih dan tidak terlampau manis, cocok sebagai teman minum teh atau kopi
2.
Kota Dengan Banyak Museum Sejarah
Setelah makan siang
kami mengunjungi Museum Aceh yang dikenal dengan nama Rumoh Aceh. Museum ini
berisi tentang sejarah, adat istiadat dan budaya Aceh. Didirikan pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, Museum Aceh dipakai dan diresmikan oleh Gubernur
Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada 31 Juli 1915. Sejak dulu
bangunannya sudah berupa bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Kini
komplek Museum Aceh tersebut telah direhabilitasi sekaligus dengan pengadaan
bangunan-bangunan baru.
Setelah puas
berkeliling, kami mengunjungi Taman Gunongan yang dibangun pada tahun 1607 oleh
Sultan Iskandar Muda untuk sang permaisuri yang berasal dari Kerajaan Pahang.
Dibuat menyerupai taman seperti yang ada di Kerajaan Pahang untuk mengobati
rasa rindu sang permaisuri kepada kampung halamannya. Kami diajak berkeliling
memasuki bangunan berwarna putih yang memiliki banyak anak tangga turun dan
naik, mirip seperti tempat bermain anak-anak. Di lokasi yang sama tak jauh dari
Gunongan itu terdapat makam Sultan Iskandar Muda yang dikelilingi pagar bercat
kuning.
3.
Sabang-Pulau Weh
Keesokan harinya,
setelah makan pagi, kami berangkat ke pelabuhan Ulhee Lheue untuk naik kapal
cepat menuju Pulau Weh selama lebih kurang 45 menit. Pulau Weh dikenal juga
sebagai Sabang. Namanya sudah kondang hingga ke mancanegara, terutama di
kalangan pencinta olahraga selam. Keindahan alam bawah lautnya membuat Pulau
Weh terkenal Setibanya di dermaga Balohan, perjalanan dilanjutkan dengan mobil
menuju Kilometer 0, tempat dimulainya perhitungan wilayah Indonesia dari ujung
paling barat.
Pemandangan laut
sepanjang perjalanan memang luar biasa indahnya. Jalanannya masih sepi, hanya
tampak beberapa kendaraan yang beriringan atau berpapasan dengan kami. Tak ada
kesan menakutkan seperti yang sering dikatakan orang. Sebelum tiba di kilometer
0, kami berhenti sejenak di sebuah warung kecil untuk bisa memandang dari kejauhan
sebuah pulau yang sangat indah yang bernama Pulau Klah, sambil menikmati kelapa
muda dan rujak Aceh.
Setelah beberapa menit
perjalanan, kami singgah sebuah resort yang bernama Anoi Item Resort untuk
makan siang. Memang selain menyediakan hotel, resort ini juga menyediakan
restaurant. Menu yang disajikan berupa masakan seafood dan beberapa masakan
khas Aceh yang sangat lezat. Setelah makan siang, tak lama kemudian tibalah
kami di Tugu Kilometer 0. Tulisan Kilometer 0 Indonesia nampak dari kejauhan
dengan cat warna oranye. Tak jauh dari tulisan itu terdapat prasasti yang
ditanda tangani oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Gamawan Fauzi
pada 12 November 2013. Namun sayang keadaannya tampak kurang terawat.
4.
Iboih yang Ramai
Setelah beberapa saat
di tugu kilometer 0, perjalanan dilanjutkan ke pantai Iboih. Hmm, saya pikir
pantai ini sepi dan minim turis, ternyata tidak. Pantai Iboih ini cukup ramai.
Malah, Pantai Iboih ini seolah jadi pusat wisata di Pulau Weh. Banyak terdapat
penginapan yang sebagian besar berfasilitas sederhana untuk kelas backpacker.
Menurut pemandu kami, penginapan di pantai Iboih ini sering penuh oleh
wisatawan domestik yang kebanyakan berasal dari Medan dan daerah lainnya.
Wisatawan asing lebih memilih menginap di lokasi yang lebih sepi yang berada
agak jauh dari pantai. Sepanjang garis
pantai, terhampar air laut yang amat jernih. Dengan menumpang perahu (glass
boat) kami menyeberang ke Pulau Rubiah untuk snorkeling dan menyicipi sate
gurita yang banyak tersedia di warung sekitar pantai Pulau Rubiah.
Beberapa dari rombongan turun ke laut untuk berenang dan ber-snorkeling-ria di pinggir pantai. Setelah menikmati pulau Rubiah, kami kembali ke pantai Iboih untuk selanjutnya menuju hotel The Pade Resort untuk check in dan istirahat sambil menikmati sunset dari depan hotel
5.
Mengenang Tragedi Tsunami
Hari ketiga, setelah
makan pagi kami kembali menuju pelabuhan Balohan untuk naik kapal menuju Banda
Aceh. Setibanya di Banda Aceh, kami mengunjungi Museum Tjut Nyak Dien yang berada di Desa Lampisang, Kecamatan
Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Museum yang bangunannya berbentuk rumah
tradisional Aceh ini pada mulanya adalah rumah pribadi Tjut Nyak Dhien, seorang
pejuang wanita Aceh yang diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia. Pada 1893
saat terjadi Perang Aceh, rumah ini sempat dibakar oleh tentara Belanda hingga
tinggal fondasinya saja yang tersisa. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya
sekitar permulaan tahun 1980-an, bekas rumahnya dibangun kembali oleh
pemerintah daerah dan sampai sekarang dijadikan museum, dengan tujuan selain
untuk mengenang jasa- jasa Tjut Nyak Dhien dalam mempertahankan tanah air dari
penjajahan Belanda, juga dijadikan sebagai aset wisata bagi Provinsi Aceh.
Setelah mengunjungi
museum tersebut, perjalanan dilanjutkan ke Museum Tsunami yang dibuat untuk
mengenang bencana alam Tsunami maha dahsyat yang melanda aceh 26 Desember 2004.
Museum ini adalah hasil buah karya arsitek Ridwan
Kamil yang juga kini menjabat sebagai Walikota Bandung. Berdiri megah dan
kokoh di lahan yang sangat luas. Bangunan dan diorama di dalam museum dibuat
sangat baik dan apik. Banyak foto yang memperlihatkan betapa dahsyatnya tsunami
yang melanda Aceh. Dari Museum Tsunami, kami beranjak melihat Kapal Sangkut
“Gampong Lampulo” dan kapal PLTD Apung yang terdampar akibat dari terjangan
ombak tsunami.
6.
Masjid Baiturrahman Agung Nan Megah
Hari keempat, yang
merupakan hari terakhir di Banda Aceh, kami tak lupa mengunjungi Masjid
Baiturrahman yang megah dan amat terkenal. Rombongan berfoto bersama untuk
mengabadikan momen bersejarah ini. Masjid Baiturrahman merupakan salah satu
saksi bisu yang tetap kokoh berdiri sewaktu bencana tsunami terjadi beberapa
tahun yang lalu.
0 Kilometer Sabang |
Museum Tsunami Aceh |
Rumoh Aceh |
Makam Sultan Iskandar Muda |
Gunongan |
Pantai Iboih Sabang |
Glass Boat |
Kapal Sangkut “Gampong Lampulo” |
Anton Teddy TX Travel |