Someday you’ll be at the bottom. Look down when you’re up above (anonim).
Tak selamanya kita berada pada kondisi teratas yang identik dengan kemapanan dan kenyamanan. Memang jalan pendakian menghabiskan energi yang tak terkirakan karena cenderung ‘melawan’ tarikan alam yang menuju ke bawah.
Butuh waktu yang tak sedikit pula untuk mencapainya, meskipun kebanyakan orang hanya bisa melihat dari sisi luarnya saja. Namun sebaliknya, terkadang seseorang jatuh ke batas terendah kehidupan dalam sekejap mata. Seolah sirna segala upaya yang telah dikerahkan..
Cobalah merenung sejenak, saat berada di tanah, kita menyaksikan pemandangan langit yang seolah tanpa batas. Penuh gemerlap di malam hari dan terhampar luas ketika siang. Seperti mengamini pepatah yang menyuruh menggantungkan harapan di langit.
Padahal sebaliknya, sebagian orang ketika berada di ketinggian merasa ngeri jika mengarahkan matanya ke bawah. Anehnya kini banyak orang menggemari naik ke perbukitan di musim dingin hanya untuk menikmati downhill dengan bilah ski. Bahkan tak sedikit orang mau mengangkasa lalu terjun bebas dengan parasut. Atau memanjat dinding gunung yang curam hanya untuk menuruninya kembali setelah tiba dipuncak.
Bagi sebagian orang, dimanapun mereka berada tak berpengaruh terhadap mental dan semangat untuk menjalani hidup. Mungkin kita perlu belajar bagaimana pemain ski saat ‘meluncur’ ke bawah dengan kecepatan tinggi tetap tenang dan fokus pada jalur yang ditempuhnya. Walau mengundang maut, tetap saja tak membuat mereka hilang nyali.
Memang ada sensasi luar biasa saat kita bisa mengatasi rasa takut terhadap apapun yang mengerikan. Perasaan takut berubah menjadi waspada dan menambah keberanian untuk menjalaninya kembali. Mungkin seperti itu semangat yang mesti dibangun ketika takdir-Nya menghendaki kita untuk menyusur turun dari ‘puncak’ kehidupan.
Dan memang, tak semua orang mau ‘melihat’ kembali jalan penuh derita yang pernah dilalui setelah segala obsesinya tercapai. Seharusnya perjalanan hidup orang-orang di masa lalu menjadi pelajaran berharga tanpa menunggu kita sendiri yang mengalaminya. Tapi lebih sering kita lupa lantaran terlena dengan apa yang sudah diraih. Sehingga Sang Pencipta ‘memilih’ kita untuk mengulangi jalan menuju puncak dan bersyukur saat mencapainya kembali.
Bersediakah kita menerima pilihan tersebut ?